Pemerintahan Prabowo-Gibran berencana menjual hotel-hotel milik BUMN. Hal itu disampaikan Ketua Satgas Perumahan Tim Transisi Prabowo-Gibran Hashim Djojohadikusumo.
Pengamat BUMN dari Datanesia Institute Herry Gunawan setuju dengan penjualan hotel-hotel BUMN tersebut. Menurutnya, tidak ada urgensi hotel milik BUMN, tidak strategis, dan tidak terkait dengan hajat hidup orang banyak, seperti tujuan pendirian BUMN.
Dengan begitu akan lebih banyak positifnya. BUMN bisa lebih fokus pada sektor usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan strategis atau selaras dengan program pemerintah.
“Jadi, biarkan bisnis perhotelan dikelola swasta. Beri ruang juga swasta untuk berkembang. Jangan semua sektor ada bisnis BUMN yang pada akhirnya mengandalkan “kebaikan hati” pemerintah,” ujar Herry.
Herry menambahkan, hotel milik BUMN dari sisi ekonomi juga tidak banyak menopang. Jika melihat Laporan Keuangan In-Journey tahun 2023, usaha perhotelah hanya menyumbang pendapatan Rp 71 miliar dari 27 hotel yang dikelola.
Berarti, rata-rata setiap hotel berpendapatan Rp 2,6 miliar dalam setahun.
“Ini sangat rendah. Jadi tidak banyak memberikan manfaat, baik secara ekonomi, sosial, maupun kepentingan program pemerintah,” ucap Herry.
Sebab itu, lanjut Herry, rencana pemerintahan mendatang untuk menjual hotel-hotel milik BUMN mesti disertai dengan pembubaran BUMN yang bergerak di bidang perhotelan.
Sementara Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyambut baik rencana presiden terpilih 2014-2029 Prabowo Subianto yang hendak menjual hotel di bawah pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN).
Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani, menjelaskan bahwa rencana pemerintah melepas aset negara tersebut lazim saja dilakukan. “Kalau memang pemerintah memandang bahwa tidak dalam core program pemerintah dan itu bisa di-recycling asetnya atau artinya dijual ya bisa saja,” jelasnya.
Hariyadi menyebut, rencana penjualan hotel BUMN itu jauh lebih baik bagi ekosistem pasar perhotelan, ketimbang pemerintah memberikan izin pendirian hotel baru. Pasalnya, hal itu tak akan berdampak pada adanya kelebihan suplai hotel. Sehingga, pasokan dapat tetap terkendali dan tak berdampak pada tingkat okupansi rata-rata hotel. “Contohnya kayak di Bali nih, semua hotel baru dikasih izin terus kan kacau itu nanti [suplainya].
Apalagi menumpuk semuanya di Selatan itu kan jadi tidak bagus dari sisi penyebaran turisnya. Itu harus dilihat. Jadi, menjual aset yang sudah ada menurut saya sih lebih bagus,” tegasnya.
Terlebih, di tengah tren suku bunga tinggi seperti saat ini. Karenanya, Hariyadi menyarankan pemerintah ke depan untuk dapat merumuskan skema penjualan paling menarik. Di samping itu, dari sisi harga hotel yang akan dijual juga harus ditetapkan semenarik mungkin mempertimbangkan tingkat pengembalian aset hingga arus kas yang positif. “ROA [return on asset] ROE [return on equity], EBITDA-nya harus lihat juga.
Kalau terlalu tinggi harga jualnya Ebitda-nya kecil kan tidak menarik,” pungkasnya. Kabar mengenai rencana Prabowo Subianto hendak menjual Hotel BUMN kembali berhembus usai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perumahan Presiden Terpilih Hashim S. Djojohadikusumo kembali menegaskan rencana tersebut.
Akan tetapi, informasi mengenai rencana pelepasan hotel BUMN itu pertama kali disampaikan oleh Prabowo sebelum dirinya resmi terpilih sebagai presiden Republik Indonesia periode 2024 – 2029. “Menurut saya, kami tidak membutuhkan hotel milik negara.
Saya katakan, bagaimana menurut Anda, Pak Erick? Tapi saya meminta saran Anda,” kata Prabowo dalam Mandiri Investment Forum (MIF) di Hotel Fairmont. Prabowo menyebut, pihaknya sangat terbuka kepada semua pihak yang tertarik menjalankan bisnis dan berinvestasi di Indonesia.
Dia mengungkapkan, pemerintah di 1950-an harus berperan besar dalam mengembangkan pariwisata dalam negeri. Kendati begitu, sudah saatnya sektor swasta mendapat ruang yang lebih besar untuk mengembangkan pariwisata di Indonesia jika memungkinkan. “Saya tidak mengerti mengapa kita perlu hadir di setiap sektor perekonomian.
Maksud saya, menurut saya pariwisata di tahun 1950-an pemerintah harus mengambil peran sebagai pionir, tapi sekarang menurut saya kita harus membiarkan sektor swasta menjadi semakin dominan. Jika memungkinkan,” ujarnya.